RSS

Arsip Bulanan: Oktober 2007

PERDEBATAN MEDIA DALAM MENGGARISBAWAHI PERDAMAIAN

The goal toward which all history tends is peace, not peace through the medium of war, not peace through a process of universal intimidation, not peace through a program of mutual impoverishment, not peace by any means that leaves the world too weak or too frightened to go on fighting, but peace pure and simple based on that will to peace which has animated the overwhelming majority of mankind through countless ages. This will to peace does not arise out of a cowardly desire to preserve one’s life and property, but out of conviction that the fullest development of the highest powers of men can be achieved only in a world of peace.

Robert Maynard Hutchins (1899-1977)

Perdamaian dapat berarti banyak hal. Bukan hanya berhubungan dengan perang dan kekerasan, tetapi juga dapat berarti keamanan dalam diri pribadi, penyelesaian konflik antar negara yang tiada berujung, atau juga bahkan menerima syarat-syarat dari negara yang berkuasa terhadap negara kecil yang memerlukan bantuan internasional untuk menyelesaikan konflik antar negaranya.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan perdamaian. High politics ataupun low politics boleh dilakukan dalam rangka pemenuhan penciptaan perdamaian tersebut. Beberapa negara berkuasa secara mayoritas melakukan proses high politics, dalam arti menggunakan kekerasan (violence) hingga mengharuskan peperangan (war) terjadi untuk mendapatkan sebuah perdamaian. High politics adalah kebijakan-kebijakan yang dilakukan, memiliki kecenderungan untuk menggunakan kekuatan militer; untuk menyukseskan tujuan utama dari sebuah negara. Kaum realist memiliki kecenderungan untuk menggunakan kekuatan ini untuk menggambarkan perbedaan antara tolok ukur high politics dan hal-hal lain yang berkaitan dengan sosial ekonomi ataupun isu keadilan sosial; dalam hal ini low politics (International Relations Theory). Sedangkan low politics sendiri adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat sosial, dengan penyelesaian masalah yang lebih difokuskan kepada perundingan damai (diplomasi); yang juga dapat dilakukan dengan menggunakan penghubung yang menjadikan massa mengetahui apa kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negara, kota, organisasi atau bahkan perorangan, dan dapat digunakan secara meluas melalui tata cara ataupun kode etik jurnalistik dengan media sebagai Public Relations (PR). Tetapi dalam essay kali ini, penulis akan mencoba untuk menggali lebih dalam perdebatan perdamaian dengan menggunakan media sebagai sarana untuk mendebatkan penggunaan pengertian perdamaian itu sendiri dari sudut Newspeak jurnalistik

Media adalah sarana dan prasarana komunikasi yang saling menghubungkan antara komunikan dan komunikator; yang disebarkan dengan menggunakan media berkala (media cetak) dan dengan menggunakan alat elektronik modern (media elektronik), secara massa dan meluas.

Dalam perspektif perbandingan, media adalah sarana yang luar biasa, jika tidak dikatakan unik, dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran dengan tidak dibatasinya kebebasan berekspresi dengan menggunakan kode-kode etik jurnalistik yang telah ditentukan. Batas-batas tertentu dalam kode etik jurnalistik itu sendiri adakalanya merupakan kebijakan-kebijakan yang mungkin dikeluarkan oleh perusahaan media tertentu untuk menjaga kualitas dan kuantitas beritanya; ataupun kebijakan dari pemerintahan negara yang bersangkutan dalam membatasi jejak tilas pers dalam merekam, dan menayangkan berita tersebut kepada massa.

Dalam beberapa kasus, perspektif media dalam menyalurkan berita untuk sampai ke tangan komunikan adalah dengan mengolah keterampilan berbahasa yang baku, namun tetap interaktif dan inovatif. Beberapa berita yang sampai ke komunikan adakalanya mampu menimbulkan emosi dan mempengaruhi pola pikir massa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Indonesia sendiri, kecenderungan masyarakat untuk mengetahui secara terperinci berita-berita terbaru yang hadir di lingkungan massa, tak urung membuat media bekerja keras untuk memutuskan berita mana yang akan menjadi headline dan apa tema yang nantinya mampu menarik mata komunikan untuk membacanya.

Ada beberapa metode untuk menyiasati suatu pola Newspeak yang pas, yang di dalamnya terdapat istilah-istilah penting yang mengandung suatu arti teknis yang dipisahkan dari makna lazimnya. Newspeak itu sendiri adalah tata cara bahasa ataupun istilah yang digunakan oleh media, baik media berkala ataupun media elektronik; dimana istilah ataupun tata bahasa tersebut bertujuan untuk membangun pola pikir ataupun cara pandang masyarakat dan massa terhadap suatu arti teknis yang cenderung berbeda dengan makna lazimnya (yang ada di dalam kamus besar bahasa Indonesia). Kecenderungan perbedaan tersebut adakalanya mampu membentuk wacana publik dan mendorong massa untuk bersikap, berfikir dan berprinsip mengenai hal yang sama terhadap berita yang ditampilkan.

Dalam hal ini, penulis mencoba untuk membandingkan istilah perdamaian dengan realita yang terjadi diantara masing-masing media, baik sesama media cetak ataupun media elektronik, dalam ruang lingkup domestik dan internasional. Karena, kita semua mengetahui bahwa masing-masing media yang berperan untuk membentuk wacana publik itu sendiri, juga harus bersaing dengan sesamanya dalam meraih minat massa untuk memilih, membaca dan merespon berita dari media yang dimaksud.

Berikut ini adalah istilah ‘proses perdamaian’ dalam Newspeak AS, dikutip dari majalah mingguan New York Times (level internasional). Menurut definisinya, Amerika Serikat committed terhadap perdamaian, suatu konsekuensi yang bagus. Orang-orang yang berpikir lurus berharap supaya Yordania mau bergabung dalam proses perdamaian ini; yaitu mau menerima keharusan-keharusan yang ditekankan AS. Pertanyaan besarnya adalah apakah PLO akan setuju bergabung dalam proses perdamaian ini, atau dapatkah haknya dijamin untuk ikut dalam acara besar ini. Judul ulasan Bernard Gwertzman tentang “proses perdamaian” di New York Times berbunyi: “Are the Palestinians Ready to Seek Peace? (“Apakah Bangsa Palestina Siap Mengadakan Perdamaian?”). Dalam arti normal kata “perdamaian”, jawabannya tentu saja “Ya”. Setiap orang menginginkan perdamaian, menurut syarat-syarat mereka sendiri. Tetapi, dalam sistem pengendalian pikiran, pertanyaannya menjadi lain: apakah bangsa Palestina siap menerima syarat-syarat AS untuk perdamaian? Syarat-syarat ini dipatri untuk menghapus hak menentukan nasib bangsa sendiri, namun ketidakmauan untuk menerima konsekuensi ini menunjukkan bahwa bangsa Palestina tidak menginginkan perdamaian, sebagaimana dirumuskan dalam Newspeak konvensional.

Istilah lain dari Newspeak itu sendiri dalam mengartikulasikan proses perdamaian adalah “rejeksionisme”, yang merujuk kepada sikap negara Palestina, ataupun negara-negara Arab lainnya yang menolak hak menentukan nasib sendiri untuk bangsa Yahudi Israel, dengan membeberkan ekstrimisme mereka yang tidak mau mengakui peradilan tentang apa yang mereka pandang sebagai penjarahan tanah air (Pusaka Online Media ISNET). Dalam Newspeak resmi, istilah ini dipakai dalam pengertian yang sangat rasis.

Newspeak itu sendiri, seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya; juga adalah bahasa media yang sangat lazim dilakukan sebagai salah satu pedoman yang menyamaratakan berbagai media di dalam dan luar negeri, sehingga tidak jarang beberapa fakta yang seharusnya ditampilkan, tidak urung untuk dihilangkan sebagai bagian untuk melindungi media tersebut dari kekuasaan yang lebih besar (negara). Beberapa kasus nyata memperlihatkan bahwa kritikan-kritikan tajam yang sering dilontarkan oleh pembaca, adakalanya juga tidak dimuat oleh media yang bersangkutan, mengingat hal-hal tersebut di atas.

Kembali kepada istilah dari proses perdamaian itu sendiri, lain halnya dengan negara Arab dan Israel ataupun AS; di Indonesia terutama dalam hal yang berkaitan dengan masalah “ekstrimis” dan “moderat” yang berlaku pada zaman Soeharto; dimana istilah “ekstrimis” diberlakukan terhadap orang ataupun kelompok yang menentang kebijakan Soeharto dan lebih dikenal dengan anti pembangunan. Sedangkan orang ataupun kelompok yang mendukung kebijakan Soeharto saat itu, tanpa melakukan protes apapun dikategorikan sebagai “moderat”. Newspeak yang berkaitan dengan hal tersebut adalah pengertian yang diambil untuk mengeneralisasikan pengertian umum menjadi beberapa kasus spesifik yang terjadi sesuai dengan event atau perkembangan berita yang terjadi saat itu. Maka proses perdamaian tersebut dapat diartikan sebagai menutup kebebasan berekspresi pers dengan mengkritik dan membredel media yang membangkang untuk mengkritik jalannya kebijakan pemerintahan Soeharto. Karena seperti yang kita ketahui, pembredelan tersebut bertujuan untuk membatasi dan menutup jalan kaum-kaum ekstrimis yang umumnya menyuarakan aspirasi mereka lewat media massa. Kembali dengan sistem pengendalian pikiran, maka pertanyaan yang sama muncul seperti dalam Newspeak AS mengenai Palestina; apakah media di Indonesia siap untuk menerima syarat-syarat dari Pemerintah demi terciptanya perdamaian dalam diri pers itu sendiri; yang mana syarat-syarat yang sama kembali untuk dipatri untuk menghapus hak kebebasan berekspresi? Karena meskipun era Soeharto itu sendiri telah berakhir, namun kebebasan berekspresi itu sendiri belum sepenuhnya mengalami nasib yang sama.

Dua contoh kasus di atas adalah merupakan perdebatan istilah perdamaian dari level internasional antara media AS dan Indonesia. Lain halnya yang terjadi dengan media cetak ataupun elektronik dari level domestik Indonesia sendiri.

Lihatlah kembali istilah “proses perdamaian”. Dalam pengertian teknisnya, sebagaimana digunakan dalam media massa dan wacana ilmiah pada umumnya di Indonesia, antara Kompas dan Pikiran Rakyat dalam kasus Aceh dengan GAM sebagai tersangka pelaku sporadis yang mengacaukan ‘perdamaian’ dalam negeri . Kedua media tersebut sama-sama menunjuk pada usulan-usulan perdamaian yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dengan GAM. Tetapi kedua media massa tersebut memicu reaksi dari NGOs yang berbeda kadarnya. Dalam arti bahwa Kompas mampu menarik lebih banyak reaksi massa dan NGOs yang bersangkutan untuk ikut terlibat merespons kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap Nanggroe Aceh Darrussalam. Hal ini sungguh berbeda dengan Pikiran Rakyat yang hanya menarik segelintir orang untuk ikut bereaksi terhadap kebijakan yang terjadi. Selain karena faktor Kompas sebagai media cetak nasional yang sudah memiliki akses lebih besar dalam hal informasi, sedangkan Pikiran Rakyat yang ruang lingkup berita berupa daerah Jawa Barat; juga karena tata bahasa dan pola kalimat dalam surat kabar Kompas yang terlihat lebih baku dan banyaknya kolom penulis dari beberapa pakar terkemuka, sehingga massa tertarik untuk membaca. Hal ini menunjukkan kredibilitas Kompas sebagai surat kabar nasional lebih memiliki bobot dibandingkan dengan Pikiran Rakyat.

Selain mendapat respons yang besar dari NGOs dan massa, Kompas juga mampu menarik respons dari Pemerintah, berhubung hampir semua pakar pemerintahan juga menggunakan Kompas sebagai media yang terpercaya untuk mendapatkan berita.

Lain halnya dengan media elektronik. Sebagai contoh adalah Metro TV dan Liputan 6 SCTV. Baru-baru ini kita mendengar berita dari bumi Nanggroe Aceh Darrusalam yang dilanda bencana tsunami hingga menewaskan puluhan ribu orang. Setiap jam, setiap menit, Metro TV selalu menayangkan berita bencana tersebut melalui tema ‘Indonesia Menangis’ dengan kadar yang penulis bisa katakan terlalu berlebihan, hingga mengurangi objektifisme jurnalistik yang seharusnya. Lain halnya dengan Liputan 6 yang juga menayangkan berita tersebut dengan skala yang cukup besar, tetapi juga tidak melupakan berita lain yang memang sepatutnya mendapatkan concern yang sama. Tetapi justru hal yang sebaliknya terjadi dengan massa, yang melihat bahwa selain up to date, Metro TV juga mampu mendapatkan respon yang lebih banyak dari NGOs dan Pemerintah. Massa melihat bahwa Metro TV memiliki concern yang lebih untuk masalah bencana Aceh dan sangat membantu khalayak ramai dalam menemukan keluarganya, walaupun kadang kala profesionalitas tidak mampu dibendung oleh emosi yang ada, mengingat adanya salah satu penyiar dari Metro TV yang menangis saat menampilkan berita tersebut secara live. Maka ‘perdamaian’ yang perlu didebatkan dalam bencana tsunami ini adalah tingkat kebutuhan informasi yang sangat besar untuk dapat membuat perasaan setiap individu menjadi tenang atau damai. Sehingga objektifisme ataupun subjektivisme jurnalistik dalam Newspeak yang ditampilkan antara kedua institusi media tersebut menjadi sangat abstrak

Setelah membandingkan beberapa media baik untuk tingkat domestik dan tingkat internasional, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa istilah Newspeak itu sendiri lebih kepada menutup fakta-fakta yang dapat membahayakan kekuasaan negaranya tanpa harus menutup kebebasan berekspresi press terhadap dunia massa. Newspeak dalam media AS berhasil dengan baik mempengaruhi media lain di luar negeri untuk ikut setuju dan mendukung proses pemberitaan terlepas dari fakta-fakta yang ada. Karena fakta-fakta yang dikeluarkan terkesan lebih ‘nyata’ dengan dukungan teknologi informasi yang jauh lebih tinggi dengan media-media yang berada pada negara-negara miskin, berkembang dan maju saat ini. Maka tak urung, media lain di luar media AS, mematok informasi berita di dalam negerinya dengan informasi yang didapat dari media AS. Sehingga tak urung media AS mampu mempengaruhi media lain di luarnya untuk stick together dengan istilah-istilah tersebut.

Maka perdebatan media itu sendiri muncul untuk kesekian kalinya dalam setiap pemprosesan Newspeak dari masing-masing institusi media luar ataupun dalam. Perdebatan itu sendiri adakalanya harus merupakan pengobanan dari institusi media yang lebih lemah posisinya; dalam arti penguasaan informasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan institusi media dengan informasi yang lebih banyak. Jika ingin dibandingkan, maka dalam hal ini adalah Kompas (Indonesia) dan Times (AS), ataupun media elektronik seperti MetroTV (Indonesia) dan CNN (AS), dan dalam tingkat domestik berupa Kompas dengan Pikiran Rakyat dan Metro TV dengan Liputan 6 SCTV.

Kembali kepada cara media dalam menggarisbawahi proses perdamaian, maka kita semua dapat memahami bahwa perdamaian itu sendiri memiliki pengertian yang berbeda dari sudut pandang masing-masing media dan dimana institusi media itu sendiri berada. Sehingga jika perdebatan tersebut dicoba untuk terus dibawa, maka proses penyelesaiannya tidak akan pernah ada hasil. Maka kita semua setuju bahwa perdamaian bukan berati harus tanpa perang, bukan berarti harus tanpa kekerasan, bukan berarti juga harus berupa sebuah kemenangan. Mengutip perkataan Oscar Arias “Peace is not the product of a victory or a command. It has no finishing line, no final deadline, no fixed definition of achievement. Peace is a never-ending process, the work of many decisions” (Peace Qoutes; breaking the cycles of violence creating circle of peace) Maka perdamaian itu sendiri adalah keadaan yang stabil, tanpa perselisihan, yang menguntungkan, dan yang juga merupakan proses yang tanpa henti, menurut syarat-syarat mereka sendiri.

 

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 9, 2007 inci Uncategorized

 

KTT BUMI dan Program Sustainable Development dengan CBDR Principle

 

Equal responsibilities principle implement with the differentiate obligation, done with the consideration that rich country gives more contributes to the damaging forest, so they have more responsibilities to protect the global environment.

(Common but differentiated responsibilities (CBDR) Principle)


Pendahuluan

Keprihatinan akan kerusakan lingkungan yang seringkali terjadi karena sikap menomor-duakan keberlangsungannya dibandingkan aspek lain, telah memperluas agenda global akan pentingnya mempertahankan lingkungan hidup bagi rencana pembangunan berkelanjutan masing-masing negara.

Selama beberapa tahun terakhir, wacana perbincangan mengenai lingkungan hidup kembali mengemuka dan mulai mendapatkan perhatian yang serius bukan hanya dari kalangan akademisi dan pemerhati lingkungan saja; melainkan juga dari masyarakat dunia. Lingkungan hidup dan diadakannya KTT Bumi telah menunjukkan seberapa besar keinginan negara untuk menyikapi kecenderungan semakin menurunnya kualitas lingkungan.

KTT Bumi juga berusaha untuk melaksanakan sustainable development yang bertujuan untuk menyelaraskan upaya pembangunan yang dipelopori oleh kaum developmentalist dengan program ramah terhadap lingkungan yang dipelopori oleh kaum enviromentalist. Dan dengan common but differentiated responsibilities principles, diharapkan kontribusi dari negara-negara maju untuk ikut peduli terhadap lingkungan dapat dilaksanakan.

Keadaan lingkungan yang semakin memprihatinkan ini dan bagaimana KTT Bumi turut membantu mempertahankan dan memperbaiki lingkungan yang tersisa merupakan isu yang akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini.

Developmentalist vs environmentalist

Pada tahun yang sama diterbitkannya buku Silent Spring karya Rachel Carson, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup yang dibuka pada 5 Juni 1972 di Stockholm. Pada konferensi ini, pemimpin-pemimpin dunia bersepakat untuk memelihara planet bumi. Seiring dengan penetapan tanggal 5 Juni sebagai World Environmental Day, dilahirkan pula resolusi pembentukan UNEP (United Nations Environmental Program). Selanjutnya, UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Gagasan pembangunan berkelanjutan diawali dengan terbitnya Laporan Brundtland (1987), “Our Common Future”, yang memformulasikan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan.[1]

Semenjak Konverensi Stockholm 1972, terdapat polarisasi antara kaum developmentalist dan environmentalist yang semakin menajam. Seperti yang kita ketahui, kaum developmentalist sangatlah mencoba untuk mewacanakan pembangunan (tanah dan bangunan) untuk menomorsatukan kebutuhan manusia pada masa sekarang tanpa memperbincangkan dan mempertimbangkan lebih jauh dampak yang kemungkinan dapat terjadi. Dan seringkali akibat negatifnya adalah kerusakan lingkungan. Seringkali upaya-upaya untuk melaksanakan pembangunan berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang sangat bergantung kepada pemanfaatan sumber daya alamnya, dan perluasan ekonomi dalam jangka panjang tanpa melihat modal alam (natural capital) dalam jangka waktu tertentu justru akan mengakibatkan kerugian besar.

Sedangkan kaum enviromentalist sangat berupaya untuk melestarikan lingkungan dan sangat menentang segala bentuk kegiatan dari kaum developmentalist yang secara terang-terangan membahayakan keberlangsungan keberadaan lingkungan hidup.

Contoh perbedaan tajam tersebut adalah pertarungan untuk mempertahankan sistem kekuatan polar yang muncul setelah perang dingin dan setiap negara maju berusaha mempertahankan pertumbuhan ekonominya pada posisi stabil. Adanya sistem pembagian kerja di mana negara maju untuk barang jadi sedangkan megara berkembang dan miskin untuk barang mentah dan setengah jadi, dan seiring dengan perkembangan sistem ekonomi yang mengarah ke perdagangan bebas; menjadikan ekonomi sebagai pilar utama yang sangat mempengaruhi kekuatan politik internasional suatu negara.

Masyarakat negara industri maupun negara yang sedang bergerak ke arah industrialisasi terbelenggu dengan pola hidup konsumtif terhadap sumber bahan baku tak terbarui. Industrialisasi telah meningkatkan indeks pencemaran di banyak tempat yang dampaknya melintasi batas negara. Sementara, negara miskin lebih sering tidak mempunyai pilihan selain memeras sumber daya alamnya untuk membayar utang luar negerinya.

Munculnya kekuatan ekonomi sayangnya tidak diimbangi oleh pelestarian lingkungan terhadap sumber daya alam yang sudah dijamah. Dan dampak dari menomorduakan lingkungan mulai terasa sekarang, sehingga apabila negara-negara maju bersangkutan tidak mulai merasa memiliki sumber daya alam yang sudah mereka gunakan; maka dampak buruknya pada masa mendatang adalah semakin banyaknya bencana alam yang terjadi akibat ketidakseimbangan ekosistem yang justru mampu membuat sebuah negara mengeluarkan cost lebih besar untuk memperbaiki kerusakan infrastruktur dari terjangan bencana tersebut.

Hal lainnya juga dapat terasa pada flora dan fauna yang sudah semakin langka. Siklusnya dapat terlihat seperti bagan berikut ini:

Hutan ditebangà flora dan fauna semakin langka karena tempat tinggal sudah tidak ada, dan banyak hewan yang diburu untuk dijualà flora:plasma nutfah[2] hilangà manusia semakin sulit menemukan obat untuk penyakit yang mungkin datang pada masa mendatangà fauna: hewan semakin langka mengakibatkan banyaknya penyelundupan penjualan hewan langka.

Siklus tersebut menggambarkan bagaimana dampak yang akan terjadi apabila hutan tempat mereka tinggal ditebang. Lalu apa kaitannya antara flora dengan plasma nutfah? Cadangan sumber daya nabati terdapat di dalam hutan. Hampir sepertiga dari hutan tropis di seluruh dunia sudah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut akan berdampak terhadap penurunan kualitas hutan dan berkurangnya secara drastis plasma nutfah yang ada di dalamnya.

Secara berkala, plasma nutfah yang seringkali ditemukan sebagai sumber obat dari penyakit langka dan berbahaya, akan hilang dan pada masa yang akan datang, akan semakin banyak penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan. Contohnya saja, industri farmasi Swiss berani membayar mahal setiap kilogram dari biji Voacanga grandifolia (Apocynaceae). Mengingat tumbuhan ini sangat jarang, maka jika permintaan tersebut dipenuhi dapat diperkirakan regenerasi tumbuhan tersebut akan tidak seimbang dan dalam hitungan tahun akan punah. Ini saja permintaan dari negara Swiss yang meminta 8 ton setiap tahunnya. Bagaimana jika semua negara meminta hal yang sama, sedangkan keberlangsungan hidup lingkungan selalu mengalami degradasi??

Menyadari terjadinya eskalasi kerusakan lingkungan, seperti yang telah dijelaskan pada paragraf awal bahasan kaum developmentalist dan enviromentalist, mengenai pembentukan UNEP; komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.[3]

Kepedulian terhadap hutan tropis dan keberadaan plasma nutfah di dalamnya tercermin dari diagendakannya masalah ini dalam level global oleh UNCTAD ((United Nations Conference on Trade and Development). Hasilnya: International Tropical Timber Agreement (ITTA) atau Perjanjian Kayu Tropis Internasional. ITTA merupakan perjanjian multilateral tentang komoditas yang diadopsi pada 18 November 1983 di Geneva dan mulai diberlakukan pada 1 April 1985. ITTA melandasi pembentukan Organisasi Internasional Kayu Tropis (International Tropical Timber Organization/ITTO) pada 1986. [4] Fokus kegiatannya adalah pengelolaan hutan yanag berkelanjutan untuk menciptakan keseimbangan hutan tropis dunia.

Mengenai masalah penyelundupan hewan langka, tedapat kebijakan yang mengatur mengenai perdagangan flora dan fauna yang terancam punah dengan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) atau Konvensi PBB mengenai perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan tujuan CITES adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta produk-produknya secara internasional. [5]

KTT Bumi

Tahun 1992, di Rio de Jainero, Brazil; dua puluh tahun setelah Konverensi Stolkhom dan lima tahun setelah laporan Brundtland (our common future), PBB menyelenggarakan KTT Bumi atau biasa dikenal dengan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan. Motto terkenalnya yang mendunia melalui ”think globally, act locally” menekankan pada pentingnya kebersamaan dari negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengatasi berbagai masalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pelaksanaan pembangunan.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil ini merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan yang tertuang dalam komitmen mengikat (legally binding) dan tidak mengikat (non-legally binding). Adapun komitmen mengikat tersebut adalah:[6]

  • Convention on Biological Diversity (CBD) atau Kovensi Keanekaragaman Hayati
  • United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim
  • Convention to Combat Desertification (CCD) atau Konvensi tentang Mengatasi Degradasi Lahan

Sedangkan komitmen yang tidak mengikat meliputi sebagai berikut:[7]

  • Rio Declaration (Deklarasi Rio) à tentang 27 prinsip yang menekankan hubungan antara lingkungan dan pembangunan.
  • Forest Principles (Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on Management, Conservation, and Sustainable Development of all Types of Forests) à menyatakan pentingnya hutan bagi pembangunan ekonomi, penyerap karbon atmosfer, perlindungan keragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai.

Forest Principles adalah capaian tertinggi di bidang kehutanan. Usulan penetapan konvesi untuk bidang kehutanan mendapat tantangan dari banyak negara karena terpicu kekhawatiran: hutan tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk tujuan komersil.

  • Agenda 21 à rencana komprehensif mengenai program pembangunan berkelanjutan ketika memasuki abad 21. Masalah kehutanan dielaborasi pada Bab XI Mengatasi Deforestasi [8] (Combatting Deforestation).

Dalam perjalanannya, komitmen global, yang mengikat) maupun tidak belum terimplementasi sepenuhnya Oleh sebab itu – sepuluh tahun kemudian, penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation, yang mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).[9]

Pada KTT bumi pertama ini pulalah dilahirkan kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu, dokumen Forest Principles (Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forests). Kendatipun bukan merupakan komitmen yang mengikat, dalam proses-proses internasional bidang kehutanan, dokumen Forest Principles merupakan referensi utama serta jiwa bagi kerjasama antar bangsa. Setelah terbentuk kesepakatan komprehensif ini, terbentuk kembali forum kehutanan tertinggi di PBB pada tahun 2002, United Nations Forum on Forest (UNFF) yang berfungsi memfasilitasi dialog mengenai pengelolaan hutan secara komprehensif di tingkat dunia dan implementasi hasil-hasil KTT Bumi. [10]

Ada tema penting yang ingin dibawa oleh KTT Bumi pada tahun ini. Isu pengadaan air bersih untuk rakyat miskin. “water for life” adalah sebuah slogan yang diusung sejalan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat umum, baik individu ataupun negara, untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Sangatlah beralasan jika KTT Bumi mencoba mengangkat isu sentral ini ke permukaan. Karena air adalah sumber kehidupan yang juga paling dekat dengan kita. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), jumlah volume air total di Bumi adalah sekitar 1,4 miliar km3.[11] Namun sayangnya jumlah yang banyak tersebut tidak banyak yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, karena hanya 2,7% jumlah air yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh manusia yang terdapat di daratan dan air tawar; sedangkan sisanya hanyalah air laut. 97,3% di antaranya merupakan air laut.

Namun jumlah air tawar yang tersedia di planet ini, sebanyak 37,8 juta km3 air tawar tersebut adalah berupa lapisan es di puncak-puncak gunung dan gleyser, dengan porsi 77,3%. Sementara air tanah dan resapan hanyalah 22,4%, serta air danau dan rawa hanya 0,35%, lalu uap air di atmosfir sebanyak 0,04%, dan sisanya merupakan air sungai sebanyak 0,01%. [12]

Air tanah merupakan timbunan air yang meresap melalui pori-pori tanah selama berabad-abad ke lapisan bawah dari ekosistem yang ada di atasnya, dan bagian terbesar ada di kedalaman lebih dari 800 meter, di luar jangkauan manusia untuk dapat mengeksploitasinya. Dewasa ini, hanya 0,3 juta km3 atau sekira 0,79% dari keseluruhan air tawar yang dapat dijangkau. Teknologi untuk memompa air lebih dari kedalaman 800 meter masih membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karenanya masih banyak orang yang memanfaatkan air permukaan dan sebagian air tanah untuk memenuhi kebutuhannya akan air.[13]

Berdasarkan data yang ada di paragraph sebelumnya, kita mengetahui bahwa resapan air yang terbanyak berada di hutan. Dan ironisnya, praktek-praktek kerusakan alam, terutama hutan atas nama keuntungan material masih saja tetap dilakukan. Apakah pemahaman paradigma developmentalist yang cenderung memihak pembangunan semata masih tetap ingin dilanjutkan tanpa adanya kesinambungan dengan paradigma enviromentalist? Jawabannya tentu saja tidak. Kita tidak boleh hanya mementingkan kemakmuran ekonomi semata, karena kemakmuran ekonomi juga ditunjang dengan sumber daya alam yang terjaga, sehingga pada masa mendatang pun cadangan ekonomi masih tetap tersimpan dengan baik.

KTT Bumi adalah merupakan salah satu ajang yang patut digunakan oleh negara-negara di dunia untuk peduli pada lingkungan, sekalipun negara major power seperti AS menolak menandatangani ataupun meratifikasi perjanjian apapun yang berkaitan dengan lingkungan hidup dengan alasan akan mengurangi pemasokan ekonominya. Terlepas dari pertanyan mengenai sikap negara besar untuk menolak melindungi hutan ataupun tidak, itu adalah sebuah sikap minor yang patut untuk dikesampingkan. Upaya negara lain untuk setia terhadap KTT Bumi dengan berprinsip sustainable development, memang patut untuk diacungi jempol.

Sustainable Development

KTT Bumi berusaha untuk merumuskan kebijakan dan komitmen mengenai sustainable development sebagai “that which met the needs of present generations without compromising the ability of future generations to meet their needs” (memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya). Kebijakan ini dipantau oleh World Summit Sustainable Development (WSSD).

Sedangkan WSSD sendiri bertujuan untuk mengevaluasi perubahan global dan menghasilkan aksi yang nyata untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan tetap melestarikan sumber daya alam di dunia yang terus meningkat populasinya, meningkat permintaan air bersih, manakan, energi, layanan kesehatan, sanitasi, tempat tinggal dan keamanan ekonomi. WSSD akan memfokuskan perhatian dunia pada aksi nyata untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.[14]

Ada beberapa perbedaan dari WSSD dan KTT Bumi yang terlihat dari pendekatannya. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya kegiatan masing-masing selalu saling berkesinambungan. Mengingat dua konferensi ini diadakan oleh PBB.

KTT Bumi

WSSD

Pertemuan kepala pemerintahan

Pertemuan masyarakat dunia yang menyertakan major groups (kelompok utama dalam masyarakat).

Menekankan pada konferensi mengenai lingkungan

Menekankan pada pembangunan berkelanjutan

Yang hadir adalah menteri lingkungan dari setiap negara

Yang hadir menteri ekonomi, keuangan dan menteri dari sektor lainnya

Lebih banyak organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan

Segala macam organisasi sesuai dengan kelompok utamanya

Program sustainable development, secara nasional ataupun dan global berusaha diimplementasikan melalui kerjasama antar pemerintahan terkait suatu negara ataupun dengan sektor swasta, organisasi non pemerintahan serta dengan masyarakat setempat yang terkait. Secara nasional, pemerintahan suatu negara akan berusaha untuk melaksanakan sebaik mungkin program ini sejalan dengan komitmen pembangunan tingkat tinggi yang diusung oleh WSSD. Misalnya saja, Indonesia selain turut serta aktif dalam KTT Bumi ini juga berusaha untuk secara konsisten menjaga hutan yang digunakan untuk memenuhi komoditi konsumen melalui national report yang komprehensif untuk disampaikan kepada Sekretariat UNFF (United Forum Forum of Forest). Adanya rencana tata ruang (mencoba untuk mempertahankan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan), keanekaragaman hayati (konservasi hutan yang dilakukan secara efektif, pengawetan plasma nutfah, pemberian sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggaran), dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (untuk mengurangi kemiskinan, penggundulan hutan dan degradasi lahan); adalah 3 hal yang diutamakan oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan program sustainable development tersebut. Dalam pelaksanaannya, program ini juga dibantu oleh masyarakat adat setempat dan sektor swasta yang juga turut andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Program yang dilakukan di dalam pemerintahan suatu negara (nasional) juga didukung dengan kerjasama antar negara. Kerjasama tersebut tertuang dalam kesepakatan (Johannesburg Plan of Implementation/JPOI), yang ditandatangani oleh Kepala Negara yang menekankan pada program sustainable development. Pelaksanaan program ini sangat menekankan CBDR PrincipleEqual responsibilities principle implement with the differentiate obligation, done with the consideration that rich country gives more contributes to the damaging forest, so they have more responsibilities to protect the global environment”. Tanggungjawab masing-masing negara untuk melestarikan sumber daya alam hayatinya adalah relatif, tetapi bukan berarti negara besar yang memiliki power boleh sesuka hati untuk mengacuhkan permasalahan ini. Kewajiban melindungi lingkungan secara global, adalah merupakan kewajiban bersama yang meminta kontribusi dari semua pihak.

KTT Bumi adalah ajang yang tepat untuk melihat seberapa besar kepedulian negara terhadap menurunnya kualitas lingkungan. Setiap tahun, isu sentral KTT Bumi ini memang berbeda-beda, baik itu mengenai hutan, penyelewengan hak paten suatu sumber daya, maupun masalah penyediaan air bersih. Dan dalam implementasinya, kebijakan ini juga di pantau secara ketat oleh WSSD. Oleh sebab itu, hasil yang diharapkan dari program sustainable development dengan CBDR Principle ini akan terus berlanjut pada masa yang akan datang.

Kesimpulan

Keprihatinan akan kerusakan lingkungan yang seringkali terjadi karena sikap menomor-duakan keberlangsungannya dibandingkan aspek lain, telah memperluas agenda global akan pentingnya mempertahankan lingkungan hidup bagi rencana pembangunan berkelanjutan masing-masing negara.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan yang tertuang dalam komitmen mengikat (legally binding) dan tidak mengikat (non-legally binding).

KTT Bumi berusaha untuk merumuskan kebijakan dan komitmen mengenai sustainable development untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dan melalui CBDR Principle, harapan bertumpu pada kesadaran negara yang berkomitmen bersama untuk ikut menaikkan kadar penurunan kualitas lingkungan yang sudah semakin memprihatinkan.

Daftar Pustaka

www.dephut.go.id

http://www.baliprepcom.org

www.pikiran rakyat.com

www.wikipediaindonesia.com

www.walhi.or.id

www.climatechange.menlh.go.id

www.cdm.or.id


[1] http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/Milestone.htm

Kehutanan Dalam Forum Global

[2] Suatu substansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat dalam setiap kelompok organisme, berpotensi untuk dikembangkan untuk menciptakan kultivar-kultivar baru melalui pemuliaan tanaman.

[3] ibid

[4] ibid

[5]Ditetapkan sebagai tanggapan terhadap tindak lanjut dari rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. CITES ditetapkan pada suatu konferensi diplomatik di Washington, D.C. pada 3 Maret 1973 dan mulai diterapkan pada 1 Juli 1975.

[6] http://www.baliprepcom.org/id/FAQ.html

[7] ibid

[8] Deforestasi hutan adalah penggunaan wilayah hutan secara besar-besaran sebagai akibat dari industrialisasi dan teknologi yang tidak ramah lingkungan yang mengakibatkan kerusakan biodiversity lingkungan.

[9] opcit

[10] Lihat http://www.baliprepcom.org/id/FAQ.html

[11] www.pikiran rakyat.com, diakses tanggal 3 Desember 2005.

Adakah Yang Tahu Sekarang Hari Air?

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] ibid

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Oktober 9, 2007 inci Uncategorized

 

3G, Kesuksesan Di Tengah Banyak Kesangsian

Teknologi yang satu ini memang tidak pernah habis untuk dibahas. Semenjak dioperasikan secara komersil satu setengah tahun lalu, 3G mampu melebarkan sayapnya menjangkau konsumen kelas menengah atas di Indonesia.

Keunggulannya adalah memungkinkan penggunanya saling bertukar data dan informasi dalam bentuk suara, gambar, video secara bersamaan dengan kecepatan tinggi dibandingkan generasi sebelumnya.

Saat ini saja, jumlah pelanggan 3G Indonesia masuk dalam 10 besar dunia setelah Jepang, Korea, Taiwan, Cina, Hongkong, Inggris, Perancis, dan Jerman. Dua setengah juta nomor yang ada, dimiliki oleh Indonesia.

Keberhasilan itu tidak lepas dari banyak perdebatan dan kesangsian banyak pihak. Dibeberapa Negara besar, teknologi ini gagal bersaing dengan 2G (SMS) atau 2,5G pada GPRS dan UMTS. Investasi yang mahal, standar yang belum jelas, ketersediaan ponsel yang terbatas, tariff terlalu tinggi, segmentasi konsumen terbatas, dan publikasi yang minim, disinyalir sebagai alasan kenapa Singapura dan Negara lainnya sempat menunda peluncuran teknologi ini.

Tapi tidak demikian untuk Indonesia. Di tahun 2003, pemerintah mulai membuka tender lisensi 3G tanpa publikasi dan konsultasi public. Ini memunculkan pesimisme masyarakat dan pemerhati teknologi akan kesuksesan teknologi itu. Tapi nyatanya, operator justru menanggapi sebaliknya. Hitung-hitungan bisnis menjadi optimisme tersendiri untuk para operator. Mungkin factor yang mereka lihat adalah suksesnya DoCoMo di Jepang dalam menerapkan 3G. Dan kecenderungan masyarakat Indonesia yang menganggap 3G sebagai trend gaya hidup.

3G Dan Gaya Hidup

Teknologi tidak disangkal telah menjadi suatu trend tersendiri dikalangan pemakainya. Mulai dari anak SD sampai kakek-nenek, hampir semua melek kata yang dimulai dengan huruf “T” ini. Sekalipun pengetahuan setiap genre usia ini berbeda-beda, nyatanya kemampuan dan kemauan mereka untuk memiliki jenis “T” terbaru tidak terbantahkan, meskipun kebutuhan atau fungsi “T” ini sendiri dinomorduakan.

Sikap masyarakat Indonesia yang cenderung konsumerisme ini, dimanfaatkan oleh vendor telekomunikasi untuk menjual berbagai jenis handphone yang mendukung fasilitas 3G dengan harga kompetitif. Lihat saja, sebelum resmi diluncurkan, sudah ada sekitar 500.000 pengguna ponsel 3G. Bukan hanya title ‘keren’ saja yang melekat pengguna 3G pertama, tapi juga menunjukkan animo masyarakat yang besar akan barang baru dipasaran.

Konten dalam handphone 3G seperti “mobil TV live” dan “mobile video streaming” seolah membenarkan pola konsumerisme masyarakat bahwa 3G mampu menjadi trend baru hidup mereka.

Mudahnya, memiliki teknologi 3G ini memudahkan masyarakat dengan mobilitas tinggi mengakses berbagai informasi secara cepat dan mudah. Ditambah lagi, meningkatnya prestise mereka dimata orang-orang sekelilingnya tatkala mereka paham dan up-to-date segala yang berbau teknologi 3G ini.

Kesangsian yang Membuahkan Kesuksesan

Gembar-gembor masuknya 3G ke Indonesia di tahun 2003 memang sudah menyedot perhatian para pengguna seluler. Ini tidak lain karena proses tender lisensi 3G dari pemerintah, dilakukan secara tiba-tiba dan tidak transparan. Masyarakat hanya tahu bahwa pemenang tender 3G saat itu adalah PT Cyber Access Communication (CAC).

Selang setahun dari kemunculan operator seluler pertama, PT Natrindo Telepon Seluler (Lippo Telecom) ditunjuk oleh pemerintah untuk memegang lisensi yang sama. Banyak kalangan menyayangkan sikap pemerintah tersebut.

Pertama, lisensi haruslah diberikan kepada perusahaan yang mampu membangun jaringan. Dari sekian banyak pilihan operator seluler, mengapa PT CAC yang terkenal dengan pakan ternak dan Lippo Telecom yang hanya mampu menjangkau pengguna seluler jauh dari rata-rata operator lainnya, justru menjadi pihak yang dipercaya oleh pemerintah memegang lisensi teknologi baru tersebut?

Belum berhasil menjawab pertanyaan diatas, tahu-tahu kedua perusahaan sudah menjual sahamnya kepada perusahaan asing, dengan alasan untuk mengundang investor membangun jaringan telekomunikasi.

PT Cyber menjual 60% sahamnya kepada Hutchison Telecommunications International Limited (HTIL) Hongkong senilai US$ 120 juta dan Lippo Telecom mengakuisisi 51% sahamnya kepada Maxis Communication Bhd senilai US$100 juta. Tapi, penjualan saham tersebut tidak lantas membuat kedua perusahaan membangun jaringan 3G di Indonesia.

Dampak dari akuisisi saham oleh perusahaan asing tersebut menyebabkan kredibilitas pemerintah menurun di mata publik. Keinginan pemerintah untuk meningkatkan layanan telekomunikasi, terutama target untuk meningkatkan jumlah pelanggan telepon di Indonesia melalui tender 3G ini, dalam 2 tahun tidak tercapai.

Tidak terpengaruh dengan isu penjualan saham, dalam kurun waktu enam bulan terhitung dari bulan Mei-Oktober 2005, Telkomsel, PT.CAC, Indosat, dan XL berhasil melakukan uji coba 3G di beberapa lokasi domestik dan internasional dengan melibatkan beberapa vendor teknologi komunikasi.

Baru kemudian pemerintah turun tangan dengan penyusunan regulasi tentang 3G dan relokasi frekuensi pita 3G dibulan Oktober-Desember 2005. Pelelangan berikutnya meloloskan tiga peserta, yaitu operator PT Telkomsel, PT Indosat, dan PT Exelcomindo.

Mesti terlambat dibandingkan dengan negara lainnya, implementasi layanan 3G di Indonesia yang diluncurkan pertama kali pada September 2006, mendapatkan tanggapan positif dari pengguna seluler.

Tidak sayang apabila investasi operator pemegang lisensi 3G harus menguras kocek lebih dari 500 milliar. Dalam tender terbuka, Telkomsel menawar Rp. 218 milliar, Xl dengan Rp. 188 miliiar dan Indosat Rp. 160 milliar. Belum lagi, operator harus merogoh kocek membangun infrastruktur. Xl misalnya, sudah menghabiskan 100 juta dollar AS, dan Telkomsel Rp. 3 triliun tiga tahun (Kompas, Kamis, 30/7/2007).

Strategi dalam berbisnis pun ditingkatkan pada tahap komersialisasi. Setiap operator menyadari, untuk dapat dikatakan sukses, jenjang waktunya tidak hanya dilihat masa booming saja. Melainkan bagaimana teknologi ini bisa dan dengan seterusnya dipakai oleh masyarakat disemua kalangan. Oleh karenanya, setiap operator menyadari bisnis di layanan 3G memang membutuhkan kerjasama banyak pihak, seperti vendor ponsel, vendor teknologi, pemerintah, content provider, media massa, dan institusi lainnya.

Sekalipun ada anggapan bahwa gegap gempita 3G saat ini mulai surut, kenyataan yang ada justru sebaliknya. Operator sadar bahwa untuk meningkatkan jumlah pelanggan 3G, maka konten-konten harus lebih menarik dan edukatif dengan menunjukkan kelas berbeda dibandingkan era 2G.

Ditambah dengan kemunculan ponsel murah, tidak disangkal kesuksesan teknologi 3G akan terus berlanjut layaknya era 2G terdahulu. Ini mengingat karakter masyarakat Indonesia yang menyukai produk canggih, dan selalu ingin mencoba inovasi baru.

Dyah Ayu Sitoresmi
Staf salah satu anggota Parlemen Indonesia

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 8, 2007 inci Uncategorized

 

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Oktober 8, 2007 inci Uncategorized