RSS

PERDEBATAN MEDIA DALAM MENGGARISBAWAHI PERDAMAIAN

09 Okt

The goal toward which all history tends is peace, not peace through the medium of war, not peace through a process of universal intimidation, not peace through a program of mutual impoverishment, not peace by any means that leaves the world too weak or too frightened to go on fighting, but peace pure and simple based on that will to peace which has animated the overwhelming majority of mankind through countless ages. This will to peace does not arise out of a cowardly desire to preserve one’s life and property, but out of conviction that the fullest development of the highest powers of men can be achieved only in a world of peace.

Robert Maynard Hutchins (1899-1977)

Perdamaian dapat berarti banyak hal. Bukan hanya berhubungan dengan perang dan kekerasan, tetapi juga dapat berarti keamanan dalam diri pribadi, penyelesaian konflik antar negara yang tiada berujung, atau juga bahkan menerima syarat-syarat dari negara yang berkuasa terhadap negara kecil yang memerlukan bantuan internasional untuk menyelesaikan konflik antar negaranya.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan perdamaian. High politics ataupun low politics boleh dilakukan dalam rangka pemenuhan penciptaan perdamaian tersebut. Beberapa negara berkuasa secara mayoritas melakukan proses high politics, dalam arti menggunakan kekerasan (violence) hingga mengharuskan peperangan (war) terjadi untuk mendapatkan sebuah perdamaian. High politics adalah kebijakan-kebijakan yang dilakukan, memiliki kecenderungan untuk menggunakan kekuatan militer; untuk menyukseskan tujuan utama dari sebuah negara. Kaum realist memiliki kecenderungan untuk menggunakan kekuatan ini untuk menggambarkan perbedaan antara tolok ukur high politics dan hal-hal lain yang berkaitan dengan sosial ekonomi ataupun isu keadilan sosial; dalam hal ini low politics (International Relations Theory). Sedangkan low politics sendiri adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat sosial, dengan penyelesaian masalah yang lebih difokuskan kepada perundingan damai (diplomasi); yang juga dapat dilakukan dengan menggunakan penghubung yang menjadikan massa mengetahui apa kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negara, kota, organisasi atau bahkan perorangan, dan dapat digunakan secara meluas melalui tata cara ataupun kode etik jurnalistik dengan media sebagai Public Relations (PR). Tetapi dalam essay kali ini, penulis akan mencoba untuk menggali lebih dalam perdebatan perdamaian dengan menggunakan media sebagai sarana untuk mendebatkan penggunaan pengertian perdamaian itu sendiri dari sudut Newspeak jurnalistik

Media adalah sarana dan prasarana komunikasi yang saling menghubungkan antara komunikan dan komunikator; yang disebarkan dengan menggunakan media berkala (media cetak) dan dengan menggunakan alat elektronik modern (media elektronik), secara massa dan meluas.

Dalam perspektif perbandingan, media adalah sarana yang luar biasa, jika tidak dikatakan unik, dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran dengan tidak dibatasinya kebebasan berekspresi dengan menggunakan kode-kode etik jurnalistik yang telah ditentukan. Batas-batas tertentu dalam kode etik jurnalistik itu sendiri adakalanya merupakan kebijakan-kebijakan yang mungkin dikeluarkan oleh perusahaan media tertentu untuk menjaga kualitas dan kuantitas beritanya; ataupun kebijakan dari pemerintahan negara yang bersangkutan dalam membatasi jejak tilas pers dalam merekam, dan menayangkan berita tersebut kepada massa.

Dalam beberapa kasus, perspektif media dalam menyalurkan berita untuk sampai ke tangan komunikan adalah dengan mengolah keterampilan berbahasa yang baku, namun tetap interaktif dan inovatif. Beberapa berita yang sampai ke komunikan adakalanya mampu menimbulkan emosi dan mempengaruhi pola pikir massa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Indonesia sendiri, kecenderungan masyarakat untuk mengetahui secara terperinci berita-berita terbaru yang hadir di lingkungan massa, tak urung membuat media bekerja keras untuk memutuskan berita mana yang akan menjadi headline dan apa tema yang nantinya mampu menarik mata komunikan untuk membacanya.

Ada beberapa metode untuk menyiasati suatu pola Newspeak yang pas, yang di dalamnya terdapat istilah-istilah penting yang mengandung suatu arti teknis yang dipisahkan dari makna lazimnya. Newspeak itu sendiri adalah tata cara bahasa ataupun istilah yang digunakan oleh media, baik media berkala ataupun media elektronik; dimana istilah ataupun tata bahasa tersebut bertujuan untuk membangun pola pikir ataupun cara pandang masyarakat dan massa terhadap suatu arti teknis yang cenderung berbeda dengan makna lazimnya (yang ada di dalam kamus besar bahasa Indonesia). Kecenderungan perbedaan tersebut adakalanya mampu membentuk wacana publik dan mendorong massa untuk bersikap, berfikir dan berprinsip mengenai hal yang sama terhadap berita yang ditampilkan.

Dalam hal ini, penulis mencoba untuk membandingkan istilah perdamaian dengan realita yang terjadi diantara masing-masing media, baik sesama media cetak ataupun media elektronik, dalam ruang lingkup domestik dan internasional. Karena, kita semua mengetahui bahwa masing-masing media yang berperan untuk membentuk wacana publik itu sendiri, juga harus bersaing dengan sesamanya dalam meraih minat massa untuk memilih, membaca dan merespon berita dari media yang dimaksud.

Berikut ini adalah istilah ‘proses perdamaian’ dalam Newspeak AS, dikutip dari majalah mingguan New York Times (level internasional). Menurut definisinya, Amerika Serikat committed terhadap perdamaian, suatu konsekuensi yang bagus. Orang-orang yang berpikir lurus berharap supaya Yordania mau bergabung dalam proses perdamaian ini; yaitu mau menerima keharusan-keharusan yang ditekankan AS. Pertanyaan besarnya adalah apakah PLO akan setuju bergabung dalam proses perdamaian ini, atau dapatkah haknya dijamin untuk ikut dalam acara besar ini. Judul ulasan Bernard Gwertzman tentang “proses perdamaian” di New York Times berbunyi: “Are the Palestinians Ready to Seek Peace? (“Apakah Bangsa Palestina Siap Mengadakan Perdamaian?”). Dalam arti normal kata “perdamaian”, jawabannya tentu saja “Ya”. Setiap orang menginginkan perdamaian, menurut syarat-syarat mereka sendiri. Tetapi, dalam sistem pengendalian pikiran, pertanyaannya menjadi lain: apakah bangsa Palestina siap menerima syarat-syarat AS untuk perdamaian? Syarat-syarat ini dipatri untuk menghapus hak menentukan nasib bangsa sendiri, namun ketidakmauan untuk menerima konsekuensi ini menunjukkan bahwa bangsa Palestina tidak menginginkan perdamaian, sebagaimana dirumuskan dalam Newspeak konvensional.

Istilah lain dari Newspeak itu sendiri dalam mengartikulasikan proses perdamaian adalah “rejeksionisme”, yang merujuk kepada sikap negara Palestina, ataupun negara-negara Arab lainnya yang menolak hak menentukan nasib sendiri untuk bangsa Yahudi Israel, dengan membeberkan ekstrimisme mereka yang tidak mau mengakui peradilan tentang apa yang mereka pandang sebagai penjarahan tanah air (Pusaka Online Media ISNET). Dalam Newspeak resmi, istilah ini dipakai dalam pengertian yang sangat rasis.

Newspeak itu sendiri, seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya; juga adalah bahasa media yang sangat lazim dilakukan sebagai salah satu pedoman yang menyamaratakan berbagai media di dalam dan luar negeri, sehingga tidak jarang beberapa fakta yang seharusnya ditampilkan, tidak urung untuk dihilangkan sebagai bagian untuk melindungi media tersebut dari kekuasaan yang lebih besar (negara). Beberapa kasus nyata memperlihatkan bahwa kritikan-kritikan tajam yang sering dilontarkan oleh pembaca, adakalanya juga tidak dimuat oleh media yang bersangkutan, mengingat hal-hal tersebut di atas.

Kembali kepada istilah dari proses perdamaian itu sendiri, lain halnya dengan negara Arab dan Israel ataupun AS; di Indonesia terutama dalam hal yang berkaitan dengan masalah “ekstrimis” dan “moderat” yang berlaku pada zaman Soeharto; dimana istilah “ekstrimis” diberlakukan terhadap orang ataupun kelompok yang menentang kebijakan Soeharto dan lebih dikenal dengan anti pembangunan. Sedangkan orang ataupun kelompok yang mendukung kebijakan Soeharto saat itu, tanpa melakukan protes apapun dikategorikan sebagai “moderat”. Newspeak yang berkaitan dengan hal tersebut adalah pengertian yang diambil untuk mengeneralisasikan pengertian umum menjadi beberapa kasus spesifik yang terjadi sesuai dengan event atau perkembangan berita yang terjadi saat itu. Maka proses perdamaian tersebut dapat diartikan sebagai menutup kebebasan berekspresi pers dengan mengkritik dan membredel media yang membangkang untuk mengkritik jalannya kebijakan pemerintahan Soeharto. Karena seperti yang kita ketahui, pembredelan tersebut bertujuan untuk membatasi dan menutup jalan kaum-kaum ekstrimis yang umumnya menyuarakan aspirasi mereka lewat media massa. Kembali dengan sistem pengendalian pikiran, maka pertanyaan yang sama muncul seperti dalam Newspeak AS mengenai Palestina; apakah media di Indonesia siap untuk menerima syarat-syarat dari Pemerintah demi terciptanya perdamaian dalam diri pers itu sendiri; yang mana syarat-syarat yang sama kembali untuk dipatri untuk menghapus hak kebebasan berekspresi? Karena meskipun era Soeharto itu sendiri telah berakhir, namun kebebasan berekspresi itu sendiri belum sepenuhnya mengalami nasib yang sama.

Dua contoh kasus di atas adalah merupakan perdebatan istilah perdamaian dari level internasional antara media AS dan Indonesia. Lain halnya yang terjadi dengan media cetak ataupun elektronik dari level domestik Indonesia sendiri.

Lihatlah kembali istilah “proses perdamaian”. Dalam pengertian teknisnya, sebagaimana digunakan dalam media massa dan wacana ilmiah pada umumnya di Indonesia, antara Kompas dan Pikiran Rakyat dalam kasus Aceh dengan GAM sebagai tersangka pelaku sporadis yang mengacaukan ‘perdamaian’ dalam negeri . Kedua media tersebut sama-sama menunjuk pada usulan-usulan perdamaian yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dengan GAM. Tetapi kedua media massa tersebut memicu reaksi dari NGOs yang berbeda kadarnya. Dalam arti bahwa Kompas mampu menarik lebih banyak reaksi massa dan NGOs yang bersangkutan untuk ikut terlibat merespons kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap Nanggroe Aceh Darrussalam. Hal ini sungguh berbeda dengan Pikiran Rakyat yang hanya menarik segelintir orang untuk ikut bereaksi terhadap kebijakan yang terjadi. Selain karena faktor Kompas sebagai media cetak nasional yang sudah memiliki akses lebih besar dalam hal informasi, sedangkan Pikiran Rakyat yang ruang lingkup berita berupa daerah Jawa Barat; juga karena tata bahasa dan pola kalimat dalam surat kabar Kompas yang terlihat lebih baku dan banyaknya kolom penulis dari beberapa pakar terkemuka, sehingga massa tertarik untuk membaca. Hal ini menunjukkan kredibilitas Kompas sebagai surat kabar nasional lebih memiliki bobot dibandingkan dengan Pikiran Rakyat.

Selain mendapat respons yang besar dari NGOs dan massa, Kompas juga mampu menarik respons dari Pemerintah, berhubung hampir semua pakar pemerintahan juga menggunakan Kompas sebagai media yang terpercaya untuk mendapatkan berita.

Lain halnya dengan media elektronik. Sebagai contoh adalah Metro TV dan Liputan 6 SCTV. Baru-baru ini kita mendengar berita dari bumi Nanggroe Aceh Darrusalam yang dilanda bencana tsunami hingga menewaskan puluhan ribu orang. Setiap jam, setiap menit, Metro TV selalu menayangkan berita bencana tersebut melalui tema ‘Indonesia Menangis’ dengan kadar yang penulis bisa katakan terlalu berlebihan, hingga mengurangi objektifisme jurnalistik yang seharusnya. Lain halnya dengan Liputan 6 yang juga menayangkan berita tersebut dengan skala yang cukup besar, tetapi juga tidak melupakan berita lain yang memang sepatutnya mendapatkan concern yang sama. Tetapi justru hal yang sebaliknya terjadi dengan massa, yang melihat bahwa selain up to date, Metro TV juga mampu mendapatkan respon yang lebih banyak dari NGOs dan Pemerintah. Massa melihat bahwa Metro TV memiliki concern yang lebih untuk masalah bencana Aceh dan sangat membantu khalayak ramai dalam menemukan keluarganya, walaupun kadang kala profesionalitas tidak mampu dibendung oleh emosi yang ada, mengingat adanya salah satu penyiar dari Metro TV yang menangis saat menampilkan berita tersebut secara live. Maka ‘perdamaian’ yang perlu didebatkan dalam bencana tsunami ini adalah tingkat kebutuhan informasi yang sangat besar untuk dapat membuat perasaan setiap individu menjadi tenang atau damai. Sehingga objektifisme ataupun subjektivisme jurnalistik dalam Newspeak yang ditampilkan antara kedua institusi media tersebut menjadi sangat abstrak

Setelah membandingkan beberapa media baik untuk tingkat domestik dan tingkat internasional, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa istilah Newspeak itu sendiri lebih kepada menutup fakta-fakta yang dapat membahayakan kekuasaan negaranya tanpa harus menutup kebebasan berekspresi press terhadap dunia massa. Newspeak dalam media AS berhasil dengan baik mempengaruhi media lain di luar negeri untuk ikut setuju dan mendukung proses pemberitaan terlepas dari fakta-fakta yang ada. Karena fakta-fakta yang dikeluarkan terkesan lebih ‘nyata’ dengan dukungan teknologi informasi yang jauh lebih tinggi dengan media-media yang berada pada negara-negara miskin, berkembang dan maju saat ini. Maka tak urung, media lain di luar media AS, mematok informasi berita di dalam negerinya dengan informasi yang didapat dari media AS. Sehingga tak urung media AS mampu mempengaruhi media lain di luarnya untuk stick together dengan istilah-istilah tersebut.

Maka perdebatan media itu sendiri muncul untuk kesekian kalinya dalam setiap pemprosesan Newspeak dari masing-masing institusi media luar ataupun dalam. Perdebatan itu sendiri adakalanya harus merupakan pengobanan dari institusi media yang lebih lemah posisinya; dalam arti penguasaan informasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan institusi media dengan informasi yang lebih banyak. Jika ingin dibandingkan, maka dalam hal ini adalah Kompas (Indonesia) dan Times (AS), ataupun media elektronik seperti MetroTV (Indonesia) dan CNN (AS), dan dalam tingkat domestik berupa Kompas dengan Pikiran Rakyat dan Metro TV dengan Liputan 6 SCTV.

Kembali kepada cara media dalam menggarisbawahi proses perdamaian, maka kita semua dapat memahami bahwa perdamaian itu sendiri memiliki pengertian yang berbeda dari sudut pandang masing-masing media dan dimana institusi media itu sendiri berada. Sehingga jika perdebatan tersebut dicoba untuk terus dibawa, maka proses penyelesaiannya tidak akan pernah ada hasil. Maka kita semua setuju bahwa perdamaian bukan berati harus tanpa perang, bukan berarti harus tanpa kekerasan, bukan berarti juga harus berupa sebuah kemenangan. Mengutip perkataan Oscar Arias “Peace is not the product of a victory or a command. It has no finishing line, no final deadline, no fixed definition of achievement. Peace is a never-ending process, the work of many decisions” (Peace Qoutes; breaking the cycles of violence creating circle of peace) Maka perdamaian itu sendiri adalah keadaan yang stabil, tanpa perselisihan, yang menguntungkan, dan yang juga merupakan proses yang tanpa henti, menurut syarat-syarat mereka sendiri.

 

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 9, 2007 inci Uncategorized

 

Tinggalkan komentar