RSS

KTT BUMI dan Program Sustainable Development dengan CBDR Principle

09 Okt

 

Equal responsibilities principle implement with the differentiate obligation, done with the consideration that rich country gives more contributes to the damaging forest, so they have more responsibilities to protect the global environment.

(Common but differentiated responsibilities (CBDR) Principle)


Pendahuluan

Keprihatinan akan kerusakan lingkungan yang seringkali terjadi karena sikap menomor-duakan keberlangsungannya dibandingkan aspek lain, telah memperluas agenda global akan pentingnya mempertahankan lingkungan hidup bagi rencana pembangunan berkelanjutan masing-masing negara.

Selama beberapa tahun terakhir, wacana perbincangan mengenai lingkungan hidup kembali mengemuka dan mulai mendapatkan perhatian yang serius bukan hanya dari kalangan akademisi dan pemerhati lingkungan saja; melainkan juga dari masyarakat dunia. Lingkungan hidup dan diadakannya KTT Bumi telah menunjukkan seberapa besar keinginan negara untuk menyikapi kecenderungan semakin menurunnya kualitas lingkungan.

KTT Bumi juga berusaha untuk melaksanakan sustainable development yang bertujuan untuk menyelaraskan upaya pembangunan yang dipelopori oleh kaum developmentalist dengan program ramah terhadap lingkungan yang dipelopori oleh kaum enviromentalist. Dan dengan common but differentiated responsibilities principles, diharapkan kontribusi dari negara-negara maju untuk ikut peduli terhadap lingkungan dapat dilaksanakan.

Keadaan lingkungan yang semakin memprihatinkan ini dan bagaimana KTT Bumi turut membantu mempertahankan dan memperbaiki lingkungan yang tersisa merupakan isu yang akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini.

Developmentalist vs environmentalist

Pada tahun yang sama diterbitkannya buku Silent Spring karya Rachel Carson, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup yang dibuka pada 5 Juni 1972 di Stockholm. Pada konferensi ini, pemimpin-pemimpin dunia bersepakat untuk memelihara planet bumi. Seiring dengan penetapan tanggal 5 Juni sebagai World Environmental Day, dilahirkan pula resolusi pembentukan UNEP (United Nations Environmental Program). Selanjutnya, UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Gagasan pembangunan berkelanjutan diawali dengan terbitnya Laporan Brundtland (1987), “Our Common Future”, yang memformulasikan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan.[1]

Semenjak Konverensi Stockholm 1972, terdapat polarisasi antara kaum developmentalist dan environmentalist yang semakin menajam. Seperti yang kita ketahui, kaum developmentalist sangatlah mencoba untuk mewacanakan pembangunan (tanah dan bangunan) untuk menomorsatukan kebutuhan manusia pada masa sekarang tanpa memperbincangkan dan mempertimbangkan lebih jauh dampak yang kemungkinan dapat terjadi. Dan seringkali akibat negatifnya adalah kerusakan lingkungan. Seringkali upaya-upaya untuk melaksanakan pembangunan berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang sangat bergantung kepada pemanfaatan sumber daya alamnya, dan perluasan ekonomi dalam jangka panjang tanpa melihat modal alam (natural capital) dalam jangka waktu tertentu justru akan mengakibatkan kerugian besar.

Sedangkan kaum enviromentalist sangat berupaya untuk melestarikan lingkungan dan sangat menentang segala bentuk kegiatan dari kaum developmentalist yang secara terang-terangan membahayakan keberlangsungan keberadaan lingkungan hidup.

Contoh perbedaan tajam tersebut adalah pertarungan untuk mempertahankan sistem kekuatan polar yang muncul setelah perang dingin dan setiap negara maju berusaha mempertahankan pertumbuhan ekonominya pada posisi stabil. Adanya sistem pembagian kerja di mana negara maju untuk barang jadi sedangkan megara berkembang dan miskin untuk barang mentah dan setengah jadi, dan seiring dengan perkembangan sistem ekonomi yang mengarah ke perdagangan bebas; menjadikan ekonomi sebagai pilar utama yang sangat mempengaruhi kekuatan politik internasional suatu negara.

Masyarakat negara industri maupun negara yang sedang bergerak ke arah industrialisasi terbelenggu dengan pola hidup konsumtif terhadap sumber bahan baku tak terbarui. Industrialisasi telah meningkatkan indeks pencemaran di banyak tempat yang dampaknya melintasi batas negara. Sementara, negara miskin lebih sering tidak mempunyai pilihan selain memeras sumber daya alamnya untuk membayar utang luar negerinya.

Munculnya kekuatan ekonomi sayangnya tidak diimbangi oleh pelestarian lingkungan terhadap sumber daya alam yang sudah dijamah. Dan dampak dari menomorduakan lingkungan mulai terasa sekarang, sehingga apabila negara-negara maju bersangkutan tidak mulai merasa memiliki sumber daya alam yang sudah mereka gunakan; maka dampak buruknya pada masa mendatang adalah semakin banyaknya bencana alam yang terjadi akibat ketidakseimbangan ekosistem yang justru mampu membuat sebuah negara mengeluarkan cost lebih besar untuk memperbaiki kerusakan infrastruktur dari terjangan bencana tersebut.

Hal lainnya juga dapat terasa pada flora dan fauna yang sudah semakin langka. Siklusnya dapat terlihat seperti bagan berikut ini:

Hutan ditebangà flora dan fauna semakin langka karena tempat tinggal sudah tidak ada, dan banyak hewan yang diburu untuk dijualà flora:plasma nutfah[2] hilangà manusia semakin sulit menemukan obat untuk penyakit yang mungkin datang pada masa mendatangà fauna: hewan semakin langka mengakibatkan banyaknya penyelundupan penjualan hewan langka.

Siklus tersebut menggambarkan bagaimana dampak yang akan terjadi apabila hutan tempat mereka tinggal ditebang. Lalu apa kaitannya antara flora dengan plasma nutfah? Cadangan sumber daya nabati terdapat di dalam hutan. Hampir sepertiga dari hutan tropis di seluruh dunia sudah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut akan berdampak terhadap penurunan kualitas hutan dan berkurangnya secara drastis plasma nutfah yang ada di dalamnya.

Secara berkala, plasma nutfah yang seringkali ditemukan sebagai sumber obat dari penyakit langka dan berbahaya, akan hilang dan pada masa yang akan datang, akan semakin banyak penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan. Contohnya saja, industri farmasi Swiss berani membayar mahal setiap kilogram dari biji Voacanga grandifolia (Apocynaceae). Mengingat tumbuhan ini sangat jarang, maka jika permintaan tersebut dipenuhi dapat diperkirakan regenerasi tumbuhan tersebut akan tidak seimbang dan dalam hitungan tahun akan punah. Ini saja permintaan dari negara Swiss yang meminta 8 ton setiap tahunnya. Bagaimana jika semua negara meminta hal yang sama, sedangkan keberlangsungan hidup lingkungan selalu mengalami degradasi??

Menyadari terjadinya eskalasi kerusakan lingkungan, seperti yang telah dijelaskan pada paragraf awal bahasan kaum developmentalist dan enviromentalist, mengenai pembentukan UNEP; komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.[3]

Kepedulian terhadap hutan tropis dan keberadaan plasma nutfah di dalamnya tercermin dari diagendakannya masalah ini dalam level global oleh UNCTAD ((United Nations Conference on Trade and Development). Hasilnya: International Tropical Timber Agreement (ITTA) atau Perjanjian Kayu Tropis Internasional. ITTA merupakan perjanjian multilateral tentang komoditas yang diadopsi pada 18 November 1983 di Geneva dan mulai diberlakukan pada 1 April 1985. ITTA melandasi pembentukan Organisasi Internasional Kayu Tropis (International Tropical Timber Organization/ITTO) pada 1986. [4] Fokus kegiatannya adalah pengelolaan hutan yanag berkelanjutan untuk menciptakan keseimbangan hutan tropis dunia.

Mengenai masalah penyelundupan hewan langka, tedapat kebijakan yang mengatur mengenai perdagangan flora dan fauna yang terancam punah dengan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) atau Konvensi PBB mengenai perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan tujuan CITES adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta produk-produknya secara internasional. [5]

KTT Bumi

Tahun 1992, di Rio de Jainero, Brazil; dua puluh tahun setelah Konverensi Stolkhom dan lima tahun setelah laporan Brundtland (our common future), PBB menyelenggarakan KTT Bumi atau biasa dikenal dengan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan. Motto terkenalnya yang mendunia melalui ”think globally, act locally” menekankan pada pentingnya kebersamaan dari negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengatasi berbagai masalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pelaksanaan pembangunan.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil ini merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan yang tertuang dalam komitmen mengikat (legally binding) dan tidak mengikat (non-legally binding). Adapun komitmen mengikat tersebut adalah:[6]

  • Convention on Biological Diversity (CBD) atau Kovensi Keanekaragaman Hayati
  • United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim
  • Convention to Combat Desertification (CCD) atau Konvensi tentang Mengatasi Degradasi Lahan

Sedangkan komitmen yang tidak mengikat meliputi sebagai berikut:[7]

  • Rio Declaration (Deklarasi Rio) à tentang 27 prinsip yang menekankan hubungan antara lingkungan dan pembangunan.
  • Forest Principles (Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on Management, Conservation, and Sustainable Development of all Types of Forests) à menyatakan pentingnya hutan bagi pembangunan ekonomi, penyerap karbon atmosfer, perlindungan keragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai.

Forest Principles adalah capaian tertinggi di bidang kehutanan. Usulan penetapan konvesi untuk bidang kehutanan mendapat tantangan dari banyak negara karena terpicu kekhawatiran: hutan tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk tujuan komersil.

  • Agenda 21 à rencana komprehensif mengenai program pembangunan berkelanjutan ketika memasuki abad 21. Masalah kehutanan dielaborasi pada Bab XI Mengatasi Deforestasi [8] (Combatting Deforestation).

Dalam perjalanannya, komitmen global, yang mengikat) maupun tidak belum terimplementasi sepenuhnya Oleh sebab itu – sepuluh tahun kemudian, penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation, yang mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).[9]

Pada KTT bumi pertama ini pulalah dilahirkan kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu, dokumen Forest Principles (Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forests). Kendatipun bukan merupakan komitmen yang mengikat, dalam proses-proses internasional bidang kehutanan, dokumen Forest Principles merupakan referensi utama serta jiwa bagi kerjasama antar bangsa. Setelah terbentuk kesepakatan komprehensif ini, terbentuk kembali forum kehutanan tertinggi di PBB pada tahun 2002, United Nations Forum on Forest (UNFF) yang berfungsi memfasilitasi dialog mengenai pengelolaan hutan secara komprehensif di tingkat dunia dan implementasi hasil-hasil KTT Bumi. [10]

Ada tema penting yang ingin dibawa oleh KTT Bumi pada tahun ini. Isu pengadaan air bersih untuk rakyat miskin. “water for life” adalah sebuah slogan yang diusung sejalan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat umum, baik individu ataupun negara, untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Sangatlah beralasan jika KTT Bumi mencoba mengangkat isu sentral ini ke permukaan. Karena air adalah sumber kehidupan yang juga paling dekat dengan kita. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), jumlah volume air total di Bumi adalah sekitar 1,4 miliar km3.[11] Namun sayangnya jumlah yang banyak tersebut tidak banyak yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, karena hanya 2,7% jumlah air yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh manusia yang terdapat di daratan dan air tawar; sedangkan sisanya hanyalah air laut. 97,3% di antaranya merupakan air laut.

Namun jumlah air tawar yang tersedia di planet ini, sebanyak 37,8 juta km3 air tawar tersebut adalah berupa lapisan es di puncak-puncak gunung dan gleyser, dengan porsi 77,3%. Sementara air tanah dan resapan hanyalah 22,4%, serta air danau dan rawa hanya 0,35%, lalu uap air di atmosfir sebanyak 0,04%, dan sisanya merupakan air sungai sebanyak 0,01%. [12]

Air tanah merupakan timbunan air yang meresap melalui pori-pori tanah selama berabad-abad ke lapisan bawah dari ekosistem yang ada di atasnya, dan bagian terbesar ada di kedalaman lebih dari 800 meter, di luar jangkauan manusia untuk dapat mengeksploitasinya. Dewasa ini, hanya 0,3 juta km3 atau sekira 0,79% dari keseluruhan air tawar yang dapat dijangkau. Teknologi untuk memompa air lebih dari kedalaman 800 meter masih membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karenanya masih banyak orang yang memanfaatkan air permukaan dan sebagian air tanah untuk memenuhi kebutuhannya akan air.[13]

Berdasarkan data yang ada di paragraph sebelumnya, kita mengetahui bahwa resapan air yang terbanyak berada di hutan. Dan ironisnya, praktek-praktek kerusakan alam, terutama hutan atas nama keuntungan material masih saja tetap dilakukan. Apakah pemahaman paradigma developmentalist yang cenderung memihak pembangunan semata masih tetap ingin dilanjutkan tanpa adanya kesinambungan dengan paradigma enviromentalist? Jawabannya tentu saja tidak. Kita tidak boleh hanya mementingkan kemakmuran ekonomi semata, karena kemakmuran ekonomi juga ditunjang dengan sumber daya alam yang terjaga, sehingga pada masa mendatang pun cadangan ekonomi masih tetap tersimpan dengan baik.

KTT Bumi adalah merupakan salah satu ajang yang patut digunakan oleh negara-negara di dunia untuk peduli pada lingkungan, sekalipun negara major power seperti AS menolak menandatangani ataupun meratifikasi perjanjian apapun yang berkaitan dengan lingkungan hidup dengan alasan akan mengurangi pemasokan ekonominya. Terlepas dari pertanyan mengenai sikap negara besar untuk menolak melindungi hutan ataupun tidak, itu adalah sebuah sikap minor yang patut untuk dikesampingkan. Upaya negara lain untuk setia terhadap KTT Bumi dengan berprinsip sustainable development, memang patut untuk diacungi jempol.

Sustainable Development

KTT Bumi berusaha untuk merumuskan kebijakan dan komitmen mengenai sustainable development sebagai “that which met the needs of present generations without compromising the ability of future generations to meet their needs” (memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya). Kebijakan ini dipantau oleh World Summit Sustainable Development (WSSD).

Sedangkan WSSD sendiri bertujuan untuk mengevaluasi perubahan global dan menghasilkan aksi yang nyata untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan tetap melestarikan sumber daya alam di dunia yang terus meningkat populasinya, meningkat permintaan air bersih, manakan, energi, layanan kesehatan, sanitasi, tempat tinggal dan keamanan ekonomi. WSSD akan memfokuskan perhatian dunia pada aksi nyata untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.[14]

Ada beberapa perbedaan dari WSSD dan KTT Bumi yang terlihat dari pendekatannya. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya kegiatan masing-masing selalu saling berkesinambungan. Mengingat dua konferensi ini diadakan oleh PBB.

KTT Bumi

WSSD

Pertemuan kepala pemerintahan

Pertemuan masyarakat dunia yang menyertakan major groups (kelompok utama dalam masyarakat).

Menekankan pada konferensi mengenai lingkungan

Menekankan pada pembangunan berkelanjutan

Yang hadir adalah menteri lingkungan dari setiap negara

Yang hadir menteri ekonomi, keuangan dan menteri dari sektor lainnya

Lebih banyak organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan

Segala macam organisasi sesuai dengan kelompok utamanya

Program sustainable development, secara nasional ataupun dan global berusaha diimplementasikan melalui kerjasama antar pemerintahan terkait suatu negara ataupun dengan sektor swasta, organisasi non pemerintahan serta dengan masyarakat setempat yang terkait. Secara nasional, pemerintahan suatu negara akan berusaha untuk melaksanakan sebaik mungkin program ini sejalan dengan komitmen pembangunan tingkat tinggi yang diusung oleh WSSD. Misalnya saja, Indonesia selain turut serta aktif dalam KTT Bumi ini juga berusaha untuk secara konsisten menjaga hutan yang digunakan untuk memenuhi komoditi konsumen melalui national report yang komprehensif untuk disampaikan kepada Sekretariat UNFF (United Forum Forum of Forest). Adanya rencana tata ruang (mencoba untuk mempertahankan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan), keanekaragaman hayati (konservasi hutan yang dilakukan secara efektif, pengawetan plasma nutfah, pemberian sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggaran), dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (untuk mengurangi kemiskinan, penggundulan hutan dan degradasi lahan); adalah 3 hal yang diutamakan oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan program sustainable development tersebut. Dalam pelaksanaannya, program ini juga dibantu oleh masyarakat adat setempat dan sektor swasta yang juga turut andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Program yang dilakukan di dalam pemerintahan suatu negara (nasional) juga didukung dengan kerjasama antar negara. Kerjasama tersebut tertuang dalam kesepakatan (Johannesburg Plan of Implementation/JPOI), yang ditandatangani oleh Kepala Negara yang menekankan pada program sustainable development. Pelaksanaan program ini sangat menekankan CBDR PrincipleEqual responsibilities principle implement with the differentiate obligation, done with the consideration that rich country gives more contributes to the damaging forest, so they have more responsibilities to protect the global environment”. Tanggungjawab masing-masing negara untuk melestarikan sumber daya alam hayatinya adalah relatif, tetapi bukan berarti negara besar yang memiliki power boleh sesuka hati untuk mengacuhkan permasalahan ini. Kewajiban melindungi lingkungan secara global, adalah merupakan kewajiban bersama yang meminta kontribusi dari semua pihak.

KTT Bumi adalah ajang yang tepat untuk melihat seberapa besar kepedulian negara terhadap menurunnya kualitas lingkungan. Setiap tahun, isu sentral KTT Bumi ini memang berbeda-beda, baik itu mengenai hutan, penyelewengan hak paten suatu sumber daya, maupun masalah penyediaan air bersih. Dan dalam implementasinya, kebijakan ini juga di pantau secara ketat oleh WSSD. Oleh sebab itu, hasil yang diharapkan dari program sustainable development dengan CBDR Principle ini akan terus berlanjut pada masa yang akan datang.

Kesimpulan

Keprihatinan akan kerusakan lingkungan yang seringkali terjadi karena sikap menomor-duakan keberlangsungannya dibandingkan aspek lain, telah memperluas agenda global akan pentingnya mempertahankan lingkungan hidup bagi rencana pembangunan berkelanjutan masing-masing negara.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan yang tertuang dalam komitmen mengikat (legally binding) dan tidak mengikat (non-legally binding).

KTT Bumi berusaha untuk merumuskan kebijakan dan komitmen mengenai sustainable development untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dan melalui CBDR Principle, harapan bertumpu pada kesadaran negara yang berkomitmen bersama untuk ikut menaikkan kadar penurunan kualitas lingkungan yang sudah semakin memprihatinkan.

Daftar Pustaka

www.dephut.go.id

http://www.baliprepcom.org

www.pikiran rakyat.com

www.wikipediaindonesia.com

www.walhi.or.id

www.climatechange.menlh.go.id

www.cdm.or.id


[1] http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/Milestone.htm

Kehutanan Dalam Forum Global

[2] Suatu substansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat dalam setiap kelompok organisme, berpotensi untuk dikembangkan untuk menciptakan kultivar-kultivar baru melalui pemuliaan tanaman.

[3] ibid

[4] ibid

[5]Ditetapkan sebagai tanggapan terhadap tindak lanjut dari rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. CITES ditetapkan pada suatu konferensi diplomatik di Washington, D.C. pada 3 Maret 1973 dan mulai diterapkan pada 1 Juli 1975.

[6] http://www.baliprepcom.org/id/FAQ.html

[7] ibid

[8] Deforestasi hutan adalah penggunaan wilayah hutan secara besar-besaran sebagai akibat dari industrialisasi dan teknologi yang tidak ramah lingkungan yang mengakibatkan kerusakan biodiversity lingkungan.

[9] opcit

[10] Lihat http://www.baliprepcom.org/id/FAQ.html

[11] www.pikiran rakyat.com, diakses tanggal 3 Desember 2005.

Adakah Yang Tahu Sekarang Hari Air?

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] ibid

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Oktober 9, 2007 inci Uncategorized

 

1 responses to “KTT BUMI dan Program Sustainable Development dengan CBDR Principle

Tinggalkan komentar